
RANDUSONGO.DESA.ID - Suasana khidmat dan penuh keakraban menyelimuti Desa Randusongo, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, pada hari ketujuh setelah Hari Raya Idul fitri. Tradisi tahunan yang dikenal dengan "Lebaran Kecil" atau dalam istilah Jawa Islami disebut "Bodo Kupat" ini menjadi momen istimewa bagi masyarakat setempat untuk mempererat tali silaturahmi.
Tradisi Bodo Kupat, yang biasanya diadakan setelah salat Subuh atau malam hari setelah salat Magrib, dipusatkan di setiap musala dan masjid di seluruh desa. Ratusan warga dari berbagai usia berkumpul, membawa ketupat dan berbagai hidangan khas, untuk mengikuti acara kepungan atau kenduri bersama.
"Tradisi ini sudah diwariskan secara turun-temurun. Bodo Kupat menjadi simbol rasa syukur kami setelah sepekan menjalankan puasa Syawal," ujar Bapak Asrori Ahmad, salah satu Ustadz Mushola Nurul Jadid Dusun Pencol II Desa Randusongo.
Sejarah dan Makna Bodo Kupat
Bodo Kupat diyakini berawal dari tradisi yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah "Bakda", yaitu Bakda Lebaran (setelah Idulfitri) dan Bakda Kupat (setelah Lebaran Ketupat).
Secara filosofis, ketupat memiliki makna mendalam bagi masyarakat Jawa. Istilah "kupat" diyakini berasal dari kata "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan. Bentuk ketupat yang segi empat melambangkan hati manusia. Ketika seseorang mengakui kesalahannya, hatinya menjadi bersih dan putih, seperti isi ketupat yang berwarna putih.
Selain itu, Bodo Kupat juga menjadi simbol kebersamaan dan gotong royong. Proses pembuatan ketupat, mulai dari menganyam janur hingga memasak beras, dilakukan secara bersama-sama oleh warga. Hidangan ketupat yang disajikan pun dinikmati bersama-sama, menciptakan suasana keakraban dan persaudaraan.
Rangkaian Acara Bodo Kupat di Randusongo
Rangkaian acara Bodo Kupat di Desa Randusongo dimulai dengan salat Subuh atau Magrib berjamaah di musala atau masjid. Setelah itu, warga berkumpul di masjid atau musala, membawa ketupat dan berbagai hidangan seperti opor ayam, sambal goreng, dan sayur lodeh.
Acara kepungan atau kenduri dimulai dengan pembacaan doa bersama, dilanjutkan dengan makan bersama. Suasana hangat dan penuh keakraban terasa saat warga saling berbagi hidangan dan bercengkerama.
Selain kepungan, beberapa musala dan masjid juga mengadakan acara tambahan seperti pengajian atau ceramah agama. Acara ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman agama dan meningkatkan keimanan warga.
Dampak Positif Bodo Kupat bagi Masyarakat
Tradisi Bodo Kupat memiliki dampak positif yang besar bagi masyarakat Desa Randusongo. Selain mempererat tali silaturahmi, tradisi ini juga menjadi sarana untuk melestarikan budaya dan tradisi Jawa.
Bodo Kupat juga menjadi ajang untuk berbagi rezeki dengan sesama. Warga yang memiliki rezeki lebih biasanya membuat ketupat dalam jumlah banyak untuk dibagikan kepada tetangga dan kerabat.
"Tradisi ini sangat penting untuk menjaga kerukunan dan kebersamaan antarwarga. Semoga tradisi Bodo Kupat tetap lestari dan terus diwariskan kepada generasi mendatang," harap Bapak Slamet.
Bodo Kupat di Tengah Modernisasi
Di tengah arus modernisasi, tradisi Bodo Kupat di Desa Randusongo tetap bertahan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Tradisi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur budaya Jawa tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Pemerintah Desa Randusongo juga memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan tradisi Bodo Kupat. Mereka berharap tradisi ini dapat menjadi daya tarik wisata budaya yang dapat meningkatkan potensi desa.
"Kami akan terus mendukung dan melestarikan tradisi Bodo Kupat. Tradisi ini adalah kekayaan budaya yang harus kita jaga bersama," ujar Kepala Desa Randusongo.
Dengan semangat kebersamaan dan gotong royong, masyarakat Desa Randusongo merayakan Bodo Kupat dengan penuh khidmat dan suka cita. Tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga silaturahmi dan melestarikan budaya luhur bangsa.